Saya menonton acara
Mata Najwa di MetroTV dan saya
tertarik dengan sosok seorang
ibu walikota yang sederhana,
tapi suka bikin panas orang-
orang yang tidak suka bekerja...
Ibu Risma...
gimana nggak panas, pagi-pagi
si ibu udah naik pohon untuk
motong dahannya yang
kepanjangan dan mengganggu
orang
ditengah hujan mengatur
lalulintas,
dengan sepatu boatnya
mengeruk dan membongkar
sampah
menelepon dinas pendidikan
ketika dlihatnya ada anak
sekolah yang masih keliaran di
jalan sementara sudah jam
masuk sekolah...
dibawah ini adalah sebuah opini
dari seorang bapak Sarlito
Wirawan yang juga menganggap
sosok ibu Risma adalah sosok
yang luar biasa...
Status Update
By Sarlito W. Sarwono
TRI RISMAHARINI
Sarlito Wirawan Sarwono
Saya tidak kenal dengan Ibu Walilota Surabaya yang kondang ini. Bertemu langsung juga belum pernah, walau hanya dari kejauhan. Saya hanya mengenalnya dari media massa yang memang sering memberitakan kegiatan-kegiatannya dalam membangun kota Metropolitan nomor dua se-Indonesia itu. Tetapi saya sangat terkesan dengan wawancara Ibu Risma dengan Najwa Sihab dalam acara “Mata Najwa” yang ditayangkan pada tanggal 12 Februari 2014.
Kebetulan saya menonton acara itu dari TV mobil saya. Persis satu jam 30 menit saya di perjalanan, bersama supir, di tengah kemacetan (walaupun tidak hujan). Jadi saya bisa fokus betul mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirnya dan mengamati setiap gerak tubuhnya dan mimik wajahnya, bahkan tetesan airmatanya. Kesimpulan saya: Tri Rismaharini adalah sebuah phenomena yang luar biasa!
Sebetulnya tidak ada yang luar biasa dari tampak luarnya. Tubuhnya tidak tinggi semampai seperti Sophia Lacuba (yang belakangan dikabarkan come back ke Indonesia dan langsung membuat heboh Infotainment), tidak juga secantik Ibu Walikota Tangerang Selatan, Airin Rahmi. Tubuh Risma kekar berbalut jilbab, dan jarinya tidak lentik bak penari, melainkan bulat-kuat seperti jari-jemari ibu-ibu petani yang biasa memegang pacul (ini saya perhatikan ketika Ibu Risma menghapus air matanya). Dia juga tidak pandai bersilat lidah seperti Farhat Abas, bahkan tidak pandai bicara (apalagi bicara diplomatis) seperti anggota DPR. Dia bukan politisi, atau pengacara. Dia hanya seorang arstiek dan mantan Kepala Dinas Pertanaman dan Kebersihan di Kodya Surabaya (tipikal PNS dan birokrat yang kebetulan mengurus taman dan sampah Surabaya). Tetapi dia tahu betul apa yang dikatakannya dan bisa mempertanggung jawabkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Inilah contoh kongkrit dari “satunya kata dengan perbuatan”.
Dari ceriteranya pada Najwa, saya mengambil kesimpulan bahwa Risma sangat religius. Religiusitasnya sangat berbeda dari religiusitas Walikota Bengkulu, Helmi Harun, yang menjanjikan umroh dan haji gratis serta hadiah mobil Inova dan Honda CRV buat masyarakat yang paling rajin sholat subuh berjamaah di masjid. Spontan keesokan harinya masjid dipenuhi oleh calon-calon umroh/haji bermental matre (apalagi buat PNS diwajibkan datang, dicatat kehadirannya dan kena sanksi kalau tidak hadir).
Religiusitas Risma nampak dari intuisinya yang kuat, yang menurut Risma sendiri merupakan petunjuk Tuhannya. Tuhan setiap hari memberi tahu ke mana dia harus pergi hari itu, ke Barat atau ke Utara, maka dia pun pergi ke arah itu, dan selalu dia menemukan warganya yang sedang bermasalah, seperti anak terlantar dipinggir jalan yang membutuhkan bantuan Dinas Sosial, pelacur berumur 60 tahun yang masih praktek dengan langganan anak-anak SD (karena ia mau menerima bayaran Rp. 1.000-2.000), atau banjir yang ketika ditelusuri penyebabnya adalah pagar orang yang membuat air mampet (maka spontan dia suruh bongkar pagar itu). Maka ketika dia ditanya oleh Najwa, “Masih tegakah Ibu mengundurkan diri sebagai walikota, walaupun sudah menerima 51 penghargaan dan calon walikota terbaik dunia? Apa yang saya harus katakan kepada warga Surabaya?”, pecahlah tangis Risma.
Dia kasihan kepada jutaan warga Surabaya yang masih perlu bantuannya. Tetapi dia juga tidak mau, sebagai walikota, mengetahui adanya warganya yang masih menderita dan dia tidak berbuat apa-apa. “Nanti kalau saya dipanggil dan ditanya Tuhan (dia lebih banyak menggunakan istilah ‘Tuhan’ daripada ‘Allah’) dan saya tidak bisa menjawab, saya tidak akan masauk surga. Saya tidak mau tidak masuk surga!”, katanya. Alangkah religiusnya, walaupun tidak sepotong ayatpun keluar dari bibirnya. Risma (yang hanya ibu rumah tangga dan senang keluar makan malam dengan suami dan anak-anaknya) jelas jauh religius dari pada ustad-ustad kondang yang memasang tarif jutaan rupiah sekali tausyiah, yang menolak hadir jika tarifnya tidak disepakati, dan punya rumah mewah dan motor-gede dan sering masuk Infotanment.
***
Berita-berita yang saya ikuti belakangan banyak yang membantah isyu tentang keinginan Risma untuk mundur. Menteri Dalam Negeri pun membantah bahwa Walikota Risma akan mundur. Bahkan sejumlah ormas dan LSM demo di depan rumah Risma, menuntut agar dia tidak mundur, tetap sebagai walikota Surabaya (suatu phenomena yang luar biasa, di tengah-tengah maraknya tuntutan mundur pada banyak Kepala daerah).
Tetapi ketika acara “Mata Najwa” direkam, nampaknya tekanan untuk tidak mundur belum terlalu kuat, dan ketika ditanya oleh Najwa Shihab, Risma masih jelas-jelas menyatakan bahwa dia tidak berani untuk berjanji kepada rakyat Surabaya untuk tidak mundur. Mengapa begitu?
Risma sendiri menyatakan bahwa dalam bekerja dia selalu melibatkan emosinya. Capek sekali memang, tetapi itulah yang bisa membuatnya berempati pada kesusahan orang lain dan karenanya ia bisa merespons sampai tuntas-tas. Di sisi lain, pelibatan emosi inilah yang juga menyebabkannya tidak kuat menghadapi persoalannya dengan Wakil Wali Kota, Wisnu Sakti Buana, yang baru-baru ini dilantik tanpa kehadiran Risma (dengan alasan sakit). Saya tidak jelas apa penyebab yang sesungguhnya, tetapi dari yang saya ketahui melalui media massa, Wisnu Sakti Buana adalah salah satu anggota DPRD yang ikut memakzulkan Risma dari jabatan walikota, hanya beberapa saat setelah Risma dilantik sebagai walikota (2010), gara-gara Risma menaikkan pajak reklame di jalan-jalan protokol Surabaya. Risma tidak mau jalan-jalan protokol Surabaya jadi jelek karena baliho-baliho reklame segede-gede raksasa. Maka marahlah anggota-anggota DPR itu (dari semua fraksi, kecuali fraksi PKS), termasuk Wisnu yang sama-sama dari fraksi PDIP bersama Risma. Anggota-anggotaDPRD itu kemudian meminta Risma mundur dari jabatan walikota.
Kalau berita yang saya baca itu benar (Tribune News, 13 Februari 2014) bisa dibayangkan bagaimana perasaan Risma (yang biasa melibatkan emosi sepenuhnya ketika bertugas) ketika ternyata Wisnu menjadi wakilnya. Memang susah kalau bekerja terlalu emosi, tetapi kalau terlalu acuh-tak acuh salah juga, kan?
SINDO 16 Feb 2014
Sarlito Wirawan Sarwono
Saya tidak kenal dengan Ibu Walilota Surabaya yang kondang ini. Bertemu langsung juga belum pernah, walau hanya dari kejauhan. Saya hanya mengenalnya dari media massa yang memang sering memberitakan kegiatan-kegiatannya dalam membangun kota Metropolitan nomor dua se-Indonesia itu. Tetapi saya sangat terkesan dengan wawancara Ibu Risma dengan Najwa Sihab dalam acara “Mata Najwa” yang ditayangkan pada tanggal 12 Februari 2014.
Kebetulan saya menonton acara itu dari TV mobil saya. Persis satu jam 30 menit saya di perjalanan, bersama supir, di tengah kemacetan (walaupun tidak hujan). Jadi saya bisa fokus betul mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirnya dan mengamati setiap gerak tubuhnya dan mimik wajahnya, bahkan tetesan airmatanya. Kesimpulan saya: Tri Rismaharini adalah sebuah phenomena yang luar biasa!
Sebetulnya tidak ada yang luar biasa dari tampak luarnya. Tubuhnya tidak tinggi semampai seperti Sophia Lacuba (yang belakangan dikabarkan come back ke Indonesia dan langsung membuat heboh Infotainment), tidak juga secantik Ibu Walikota Tangerang Selatan, Airin Rahmi. Tubuh Risma kekar berbalut jilbab, dan jarinya tidak lentik bak penari, melainkan bulat-kuat seperti jari-jemari ibu-ibu petani yang biasa memegang pacul (ini saya perhatikan ketika Ibu Risma menghapus air matanya). Dia juga tidak pandai bersilat lidah seperti Farhat Abas, bahkan tidak pandai bicara (apalagi bicara diplomatis) seperti anggota DPR. Dia bukan politisi, atau pengacara. Dia hanya seorang arstiek dan mantan Kepala Dinas Pertanaman dan Kebersihan di Kodya Surabaya (tipikal PNS dan birokrat yang kebetulan mengurus taman dan sampah Surabaya). Tetapi dia tahu betul apa yang dikatakannya dan bisa mempertanggung jawabkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Inilah contoh kongkrit dari “satunya kata dengan perbuatan”.
Dari ceriteranya pada Najwa, saya mengambil kesimpulan bahwa Risma sangat religius. Religiusitasnya sangat berbeda dari religiusitas Walikota Bengkulu, Helmi Harun, yang menjanjikan umroh dan haji gratis serta hadiah mobil Inova dan Honda CRV buat masyarakat yang paling rajin sholat subuh berjamaah di masjid. Spontan keesokan harinya masjid dipenuhi oleh calon-calon umroh/haji bermental matre (apalagi buat PNS diwajibkan datang, dicatat kehadirannya dan kena sanksi kalau tidak hadir).
Religiusitas Risma nampak dari intuisinya yang kuat, yang menurut Risma sendiri merupakan petunjuk Tuhannya. Tuhan setiap hari memberi tahu ke mana dia harus pergi hari itu, ke Barat atau ke Utara, maka dia pun pergi ke arah itu, dan selalu dia menemukan warganya yang sedang bermasalah, seperti anak terlantar dipinggir jalan yang membutuhkan bantuan Dinas Sosial, pelacur berumur 60 tahun yang masih praktek dengan langganan anak-anak SD (karena ia mau menerima bayaran Rp. 1.000-2.000), atau banjir yang ketika ditelusuri penyebabnya adalah pagar orang yang membuat air mampet (maka spontan dia suruh bongkar pagar itu). Maka ketika dia ditanya oleh Najwa, “Masih tegakah Ibu mengundurkan diri sebagai walikota, walaupun sudah menerima 51 penghargaan dan calon walikota terbaik dunia? Apa yang saya harus katakan kepada warga Surabaya?”, pecahlah tangis Risma.
Dia kasihan kepada jutaan warga Surabaya yang masih perlu bantuannya. Tetapi dia juga tidak mau, sebagai walikota, mengetahui adanya warganya yang masih menderita dan dia tidak berbuat apa-apa. “Nanti kalau saya dipanggil dan ditanya Tuhan (dia lebih banyak menggunakan istilah ‘Tuhan’ daripada ‘Allah’) dan saya tidak bisa menjawab, saya tidak akan masauk surga. Saya tidak mau tidak masuk surga!”, katanya. Alangkah religiusnya, walaupun tidak sepotong ayatpun keluar dari bibirnya. Risma (yang hanya ibu rumah tangga dan senang keluar makan malam dengan suami dan anak-anaknya) jelas jauh religius dari pada ustad-ustad kondang yang memasang tarif jutaan rupiah sekali tausyiah, yang menolak hadir jika tarifnya tidak disepakati, dan punya rumah mewah dan motor-gede dan sering masuk Infotanment.
***
Berita-berita yang saya ikuti belakangan banyak yang membantah isyu tentang keinginan Risma untuk mundur. Menteri Dalam Negeri pun membantah bahwa Walikota Risma akan mundur. Bahkan sejumlah ormas dan LSM demo di depan rumah Risma, menuntut agar dia tidak mundur, tetap sebagai walikota Surabaya (suatu phenomena yang luar biasa, di tengah-tengah maraknya tuntutan mundur pada banyak Kepala daerah).
Tetapi ketika acara “Mata Najwa” direkam, nampaknya tekanan untuk tidak mundur belum terlalu kuat, dan ketika ditanya oleh Najwa Shihab, Risma masih jelas-jelas menyatakan bahwa dia tidak berani untuk berjanji kepada rakyat Surabaya untuk tidak mundur. Mengapa begitu?
Risma sendiri menyatakan bahwa dalam bekerja dia selalu melibatkan emosinya. Capek sekali memang, tetapi itulah yang bisa membuatnya berempati pada kesusahan orang lain dan karenanya ia bisa merespons sampai tuntas-tas. Di sisi lain, pelibatan emosi inilah yang juga menyebabkannya tidak kuat menghadapi persoalannya dengan Wakil Wali Kota, Wisnu Sakti Buana, yang baru-baru ini dilantik tanpa kehadiran Risma (dengan alasan sakit). Saya tidak jelas apa penyebab yang sesungguhnya, tetapi dari yang saya ketahui melalui media massa, Wisnu Sakti Buana adalah salah satu anggota DPRD yang ikut memakzulkan Risma dari jabatan walikota, hanya beberapa saat setelah Risma dilantik sebagai walikota (2010), gara-gara Risma menaikkan pajak reklame di jalan-jalan protokol Surabaya. Risma tidak mau jalan-jalan protokol Surabaya jadi jelek karena baliho-baliho reklame segede-gede raksasa. Maka marahlah anggota-anggota DPR itu (dari semua fraksi, kecuali fraksi PKS), termasuk Wisnu yang sama-sama dari fraksi PDIP bersama Risma. Anggota-anggotaDPRD itu kemudian meminta Risma mundur dari jabatan walikota.
Kalau berita yang saya baca itu benar (Tribune News, 13 Februari 2014) bisa dibayangkan bagaimana perasaan Risma (yang biasa melibatkan emosi sepenuhnya ketika bertugas) ketika ternyata Wisnu menjadi wakilnya. Memang susah kalau bekerja terlalu emosi, tetapi kalau terlalu acuh-tak acuh salah juga, kan?
SINDO 16 Feb 2014
No comments:
Post a Comment